Contoh Autobiografi - Albertus
Agung Prasetyono, seorang anak laki-laki yang lahir tanggal 14 Oktober 1997 di
sebuah kota yang biasa orang kenal sebagai Venice Van Java, tempat dimana pusat
pemerintahan Provinsi Jawa Tengah berada. Agung nama panggilannya. Penyandang
status mahasiswa di sebuah universitas yang menjadikan Pangeran Diponegoro yang
sedang menunggangi kuda sebagai ikonnya.
Laki-laki
ini bukan seorang pengejar nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tertera
dalam Kartu Hasil Studi (KHS), tetapi seorang pemburu pengalaman hidup dalam
proses pengembangan diri. Laki-laki ini berpikir, kuliah dan berbagai kehidupan
sebagai mahasiswa lebih dari sekedar mencari nilai yang tertera pada kertas,
tetapi itu semua tentang nilai kehidupan.
Laki-laki
ini memiliki motto hidup “Born to be
leader, born to inspire”. Dengan motto tersebut, dia bermimpi menjadi
seorang pemimpin yang bisa terus menginspirasi orang-orang. Kata born pada motto tersebut menggambarkan
keharusan untuk melekatkan atribut seorang pemimpin dan penginspirasi pada
dirinya yang akan terus memaksanya untuk memiliki kepribadian yang bisa
mendekatkannya pada impiannya. Laki-laki itu adalah saya.
Saya
merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Bisa dikatakan sebuah karunia Tuhan
yang dititipkan kepada keluarga kecil yang dipersatukan dari seorang pria asli
Semarang dengan wanita yang berasal dari Magelang. Yohanes Saryono adalah nama
ayah saya serta Yustina Bakti Marwenti nama ibu saya. Ditambah seorang anak
perempuan yang usianya terpaut 3 tahun lebih muda dari saya menambah
kelengkapan keluarga kecil ini. Veronika Betty Prastiwi namanya, Asti
panggilannya. Dan dialah adik saya.
Dari
masa Taman Kanak-kanak (TK) hingga kuliah, saya menghabiskan waktu dengan
menimba ilmu di kota yang penuh sejarah. Berdasar pada kecintaan dan
kebanggaan, pikiran-pikiran yang seharusnya membawa jiwa dan raga ini
melalangbuana ke berbagai belahan Indonesia, akhirnya berhenti untuk menetap
pada satu tempat, yaitu Semarang.
Di
kota ini, saya telah menyelesaikan pendidikan di berbagai jenjang, antara lain
sebagai berikut: TK PGRI Taman Pekunden (2002-2003), SDN Miroto (2003-2009), SMPN
32 Semarang (2009-2012), SMAN 5 Semarang (2012-2015). Jenjang pendidikan dengan
waktu yang lama, namun terasa lewat begitu saja ketika saya mengenangnya.
Mungkin karena waktu itu hidup saya terlalu nyenyak berada di dalam zona
nyaman.
Pada
tahun 2015, setelah menyelesaikan perjalanan keilmuan berijazah di masa SMA, sebuah
pilihan yang sulit saya hadapi ketika akan menentukan tempat dimana jenjang
pendidikan saya akan berlanjut. Selain masalah biaya, pilihan ini juga
mencampur adukan dilema antara hati dan realitas. Di satu sisi, saya ingin
mengikuti kata hati untuk memasuki perkuliahan sastra yang sudah seperti mimpi
separuh jiwa. Namun di satu sisi yang lain saya menyadari bahwa setelah lulus
nanti saya harus cepat bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.
Mengingat
pada tahun itu ayah terancam PHK dan rendahnya penghasilan ibu sebagai buruh
cuci, terasa jelas jalan mana yang harus saya pilih. Saya memilih dan diterima
di Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Banyak orang berkata, dengan pangsa kerja yang luas, telah lahir para
manajer-manajer hebat lulusan fakultas ini. Saya siap untuk menjadi generasi
selanjutnya.
Dengan
menjadi mahasiswa yang memiliki latar belakang ilmu ekonomi, saya tidak akan
mengubur potensi sajak-sajak yang hidup tertanam dalam diri. Saya berfikir
positif, mahasiswa ekonomi berjiwa sastra juga tidak ada salahnya. Ini semua
saya jalani untuk satu langkah membahagiakan orang tua secepatnya, lalu kemudian
kembali pada panggilan hati yang akan menuntun bahagianya hidup sampai mati
nanti. Itu yang saya pikir dulu sebagai bentuk penghiburan agar tidak
dihinggapi perasaan salah masuk jurusan.
Ketika
masuk pertama sebagai manusia bergelar mahasiswa dalam rangkaian acara
Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) yang diadakan universitas, saya mendapatkan
sebuah inspirasi dari seorang kakak tingkat. Saya tidak mengingat namanya, tapi
saya terus mengingat kata-katanya. Sebuah saran untuk mahasiswa agar tidak
hanya berfokus pada pembelajaran mata kuliah semata, tetapi juga pada
peningkatan softskill dan mental
seorang mahasiswa. IPK hanya sebatas angka yang tertera pada kertas sebagai
salah satu syarat melamar kerja, selebihnya hanya ada pada gengsi.
Saya
tidak mendengar itu sebagai bentuk alasan untuk mengacuhkan kewajiban utama
kuliah yaitu belajar, tetapi adalah motivasi mahasiswa untuk dapat memaknai
pengembangan dirinya dalam hidup. Bagi saya itu adalah hal yang menarik bagi
pengembangan diri, cara membuat hidup siswa berpangkat maha lebih berwarna
dengan berbagai tantangan dan impian.
Namun
di tengah-tengah semangat mengawali kuliah, tepatnya sekitar bulan Oktober 2015
saya mendapatkan kabar dari ibu bahwa ayah telah diberhentikan dari
pekerjaannya sebagai karyawan swasta. Selain memberikan kabar tersebut, beliau juga
berpesan bahwa saya tetap harus kuliah walaupun kehidupan keluarga kedepannya
akan berkekurangan. Saya berusaha tegar terhadap kenyataan tersebut. Saya hanya
berpikir sebuah bintang membutuhkan gelap untuk bersinar, seperti halnya
manusia membutuhkan masalah untuk menjadi kuat.
Namun
sungguh sempurnanya kasih Tuhan dalam merencanakan segala sesuatu. Selain
diterima di Universitas Diponegoro melalui jalur SNMPTN, saya juga diterima
sebagai mahasiswa penerima bidikmisi, beasiswa pemerintah yang berasal dari
uang rakyat. Dengan status sebagai mahasiswa bidikmisi, bisa dikatakan saya
tidak akan mempunyai masalah biaya yang harus dibayarkan kepada universitas. Bukan
sekedar menjadi penyelamat, beasiswa ini juga menjadi motivasi saya untuk melampaui
batas kemampuan diri.
Semenjak
saat itu, saya begitu tertarik mengikuti organisasi. Selalu terngiang di ingatan
saya, kata-kata kakak tingkat ketika PMB dulu. Kuliah bukan sekedar mengejar
nilai yang tertera pada kertas, tetapi juga untuk meningkatkan softskill dan mental dalam mengembangkan
diri untuk menjadi pribadi yang komplet. Seperti nasi goreng komplet yang
harganya lebih mahal, mahasiswa yang komplet juga pasti memiliki nilai lebih
pada dirinya. Pengetahuan yang lebih dari sekedar IPK, dan softskill serta mental yang dimiliki. Besar harapan saya untuk mendapatkan
itu semua dari organisasi-organisasi yang saya ikuti.
Dengan
pedoman kuliah seperti itu, sampai menginjak semester tiga saya telah mengikuti
8 organisasi. Saya juga sering mengikuti pelatihan-pelatihan kepemimpinan dan
semacamnya. Banyak orang bertanya-tanya kenapa saya memiliki organisasi
sebanyak itu. Saya selalu ingin mengejar ilmu dan mengembangkan diri. Karena bagi
saya, seseorang tidak akan pernah mampu mencapai kesempurnaan dalam dirinya,
maka dari itu orang tersebut harus dengan kerendahan hati mau untuk belajar dan
terus belajar sepanjang hidupnya. Tentu untuk terus menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Saya pikir, seperti itulah hidup, kesempatan berlari untuk mengejar impian.
Akhirnya
ketika saya menginjak semester empat, saya terhenti pada satu titik bernama
keletihan. Keletihan yang teramat letih bagi seorang pemburu pengalaman hidup
dalam pengembangan diri. Kuliah mulai terganggu, tugas banyak yang lepas, dan
beberapa kewajiban lainnya tidak dapat terpenuhi. Semua pencapaian dalam organisasi-organisasi
ini pun terasa berjalan begitu saja, tanpa ada rasa bahagia dan puas. Mengejar
impian dengan penuh ambisi memang tidak ada habisnya.
Di
titik ini saya renungkan, hidup tidak untuk terus berlari. Kita perlu berhenti
untuk beristirahat dan kemudian berjalan pelan untuk memahami arti bersyukur
dalam setiap kesempatan. Seringkali saya hanya menuruti ambisi untuk terus
mengembangkan kemampuan diri tanpa menengok aspek kehidupan lainnya. Lebih
banyak berpikir tentang diri sendiri dibandingkan memikirkan orang lain.
Seharusnya hidup tidak seegois itu.
Akhirnya
di semester empat ini saya hanya mengikuti 3 organisasi. Jika dibandingkan
dengan semester sebelumnya, tentu jumlah ini jauh lebih sedikit, walau masih
dinilai banyak bagi sebagian orang. Setidaknya menjadi sebuah penurunan
kesibukan yang cukup drastis yang saya harapkan menjadi peningkatan bagi
kualitas dari hal-hal yang bisa saya berikan.
Saya
menyadari yang terpenting bukanlah seberapa banyak organisasi yang saya ikuti,
tetapi seberapa besar peran saya di dalam organisasi tersebut. Setidaknya
dengan hanya memiliki 3 organisasi, saya dapat lebih maksimal dalam
berkontribusi dibandingkan dengan ketika saya memiliki 8 organisasi. Ya, bukan
seberapa banyak yang saya ikuti, tetapi seberapa besar peran saya untuk mereka.
3 yang penuh kontribusi lebih baik dibanding 8 yang terbengkalai.
Seringkali
manusia berpikir apa yang bisa mereka dapat lebih penting daripada apa yang
bisa mereka beri. Sebuah ketimpangan manusia ketika menentukan tujuan dalam mengikuti
suatu hal. Keegoisan yang membuat diri mereka merasa sia-sia atau buang-buang
waktu jika tidak mendapatkan apapun dari apa yang mereka lakukan. Memaknai
hidup hanya tentang apa manfaat bagi mereka, dan mengacuhkan segala kewajibannya.
Sebuah pemikiran yang harus diperbaiki.
Dulu
saya berpikir, tujuan mengikuti organisasi adalah untuk mengembangkan diri
menjadi lebih baik kedepannya. Mengasah softskill
dan mental sebagai mahasiswa, juga tidak lupa untuk terus mencari pengalaman
hidup sebanyak-banyaknya. Membuat kuliah tidak hanya mengejar nilai yang
tertera dalam kertas, pelambung gengsi yang terkadang dianggap segalanya dalam
menentukan masa depan.
Tapi
kini saya sadar, tujuan yang sebenarnya bukanlah itu. Seharusnya saya juga
memikirkan organisasi dan kesatuan manusia-manusia di dalamnya. Kepentingan
bersama adalah suatu hal yang harus dijunjung tinggi di atas kepentingan
pribadi. Karena sebuah tempat belajar bernama organisasi terbentuk karena
adanya tujuan bersama, bukan karena adanya tujuan tertentu yang dimiliki salah
satu atau beberapa orang di dalamnya.
Setelah
melepas banyak organisasi, kesadaran tersebut membawa saya kepada sebuah
tanggung jawab baru sebagai seorang ketua. Pelayanan Rohani Mahasiswa Katolik,
sebuah organisasi pelayanan kerohanian yang akhirnya saya pimpin. Sebuah
organisasi yang biasanya dijadikan pilihan ke dua atau pilihan berikutnya.
Namun karena saya merasa terpanggil, akhirnya organisasi kerohanian ini menjadi
prioritas.
Ketika
menjadi ketua, tujuan saya bukan lagi sekedar mendapatkan pengalaman hidup yang
lebih banyak, tetapi juga untuk menerapkan dan berbagi ilmu yang telah
dimiliki. Karena sebuah gelas yang penuh dengan air harus dikosongkan dengan
menuangkannya ke gelas yang lain. Bukan semata-mata agar gelas dapat diisi
kembali, tetapi juga agar gelas yang lain dapat turut terisi dengan air yang
sebelumnya ada di gelas itu.
Selama
proses perjalanan kuliah ini, saya telah belajar banyak hal dari berbagai
situasi. Dari dilema memilih jurusan kuliah karena kondisi keluarga, mendengar
orang tua kehilangan pekerjaannya, salah persepsi kuliah hingga terlalu banyak
organisasi, hingga terpilih menjadi ketua organisasi kerohanian. Kedepannya
saya akan banyak belajar dari hidup, dan saya tidak akan lupa untuk membagikan
ilmu itu pada orang lain. Kesimpulan dari pengalaman hidup saya adalah ketika
kita mendapatkan pembelajaran dari hidup, kita harus memberikan itu juga ke
dalam hidup orang lain. Belajarlah banyak dari hidup untuk mengajarkannya kembali
pada hidup.